Saya pernah terbangun dalam keadaan jatuh, sebab harapan yang terlalu tinggi. Pernah juga terbangun dalam keadaan mati, sebab dibunuh oleh mimpi. Tapi sekali, saya terbangun dalam keadaan hidup, namun segalanya telah berhenti. Saya tidak mati, hanya cerita yang terakhiri. Lalu terjerat ingatan, pada durma yang menyebar kebencian. Terperosok dalam jiwa yang tak mengenal majikan.
Saya terlalu mengabaikan logika, hingga perasaan merajai seluruh indera. Saya buta, pada kenyataan. Saya tuli, pada bisik-bisik kebenaran. Saya kebas, pada sentuhan. Saya bisu, pada kejujuran. Dan hanya getir, yang saya kenal di ujung bibir.
Kamu pernah membawa saya pada sebuah titik, dan mengikat saya hingga tak berkutik. Lalu kamu biarkan segerombolan burung-burung pemakan bangkai, menghabisi harapan yang terabaikan.
Kala itu, saya menangis semalaman . men-titik-kan kisah , saya mengakhiri cerita yang bermain di kepala ,yang di dalamnya, kamu lah pemeran utama yang selalu saya sanjung di hadapan Tuhan. Kemudian lahir sebuah pertanyaan, apakah kamu menyesal atau malah tertawa di belakang?
Namun yang saya tahu, ketika saya "titik"-kan kisah ini, Tuhan mengenalkan saya pada koma; dimana kisah hanya dipisah unsurnya, bukan dihentikan ceritanya.
Dan kini, saya terbangun dalam keadaan mengerti, bahwa bagi Tuhan, kata "selamanya", adalah kata yang memiliki makna terlalu lama. Lalu koma, layaknya sosok senja yang bertugas membagi masa. Dan kamu; pagi yang kurelakan, teruntuk pagi yang lain–yang juga akan digantikan. Hingga malam, akan kembali menjadi teman setia, dalam perjalanan.
No comments:
Post a Comment