Friday, January 18, 2019

Back home

Ajib , kamu tau? Aku tak pernah bosan menceritakanmu. Aku tak pernah bosan membicarakan apa-apa tentangmu kepada semesta. Mungkin telingamu sesekali panas karena aku sering membicarakanmu.


Apa kamu tahu juga, bahwa aku selalu menunggu kepulanganmu? Menunggu kamu untuk menyinggahkan rindumu ke tempat yang tepat yaitu aku. Ah, mungkin aku sedang bergurau tentang kepulangan rindumu. Mana tahu kamu sedang rindu dengan seseorang yang bukan aku. Mana tahu juga kamu sedang berindu-rindu ria sekarang.

Bagai rumah yang ditinggal pergi penghuninya. Aku selalu mengharap Tuannya pulang untuk kemudian membersihkan rumah yang sudah lama ia tinggalkan. Lusuh, daun-daun berguguran lalu tertiup angin dan membawanya berserakan di halaman rumah tanpa pernah disapu, debu-debu menempel di setiap sudut ruangan luar maupun dalam.

Sungguh malang rumah tanpa penghuni. Apalagi jika Kamu bahkan memilih singgah ke rumah yang belum tentu mampu membuatmu nyaman . Kamu lebih memilih singgah ke rumah yang sudah ada tuannya padahal sudah jelas-jelas aku yang butuh kamu singgahin untuk kemudian kamu bersihkan, disayang-sayang, dimanja-manja, kamu kecup dan kamu peluk.

Baik, aku mulai berlebihan. Hehe

Perlu ku ingatkan, bisa saja aku bernasib sama seperti rumah yang ku ceritakan tadi. Jadi, cepatlah pulang.

Kali ini rinduku meninggalkan sesak, karena memikirkan hal-hal buruk yang mungkin saja bisa terjadi. Sayang , apa kamu tak mau mengurangi sesakku ini dengan pelukmu yang entah kenapa bisa menjadi penenang yang manjur selain menangis? Apa kamu tak mau? Aku berharap, tak perlu menunggu jawabanmu kau sudah memelukku erat. Sangat erat. Sampai sesak namun menenangkan.

Ah, aku mulai mengkhayal yang tidak-tidak. Namun aku harap, khayalku adalah doa.

sesesak apa pun, aku tetap saja menginginkan kepulangan rindumu. Kita Hanya perlu berdoa kepada semesta agar kamu lekas mempulangkan rindumu ke tempat yang tepat. Aku tak bisa memaksa dan tak mempunyai hak untuk menyeretmu pulang.

Hanya saja aku selalu berharap menjadi tempat singgah yang menenangkan rindumu itu.

Sekali lagi. Aku sangat mengharap pulang yang kamu janjikan , aku bersiap menjadi rumah terhangat untuk kau tinggali . 



Your wife. Ninda ...     

Rabu , 30 Januari 2019

Monday, January 14, 2019

Bahagia karna bersyukur

Pada akhirnya, Tuhan tidak memaksakan apapun kepada kita. Bahagia dapat direkayasa, tergantung seberapa besar rasa syukur kita.


 

Bohong jika kamu tidak pernah merasa bosan dengan betapa banyak dan rumitnya masalah hidup. Lebih bohong lagi jika kamu bilang tidak ada satu kebahagiaan pun yang pernah singgah dalam hidup. Itu artinya setiap orang, setiap kehidupan, dan setiap cerita, punya potensi untuk lebih bahagia daripada bersedih. 

Merasa kurang bahagia bukan berarti kamu tengah bersedih. Itu adalah dua hal berbeda. Begitu juga dengan momen saat kamu sedang jatuh, terpuruk, dan merasa rendah. Kesedihan yang membuncah-buncah bukanlah representasi dari ketidakbahagiaan. Ada hal-hal esensial yang lebih mendasar dari dua premis tersebut.

Kamu tidak mendapatkan bahagia dari apa yang kamu miliki. Kamu juga tidak mendapatkan sedih dari apa yang kamu lewati.

Lucunya, menjadi bahagia adalah hal yang absurd. Seperti yang saya tulis di atas, bahwa manusia tidak ditakdirkan untuk bahagia saat kita mendapatkan sesuatu. Begitupun sebaliknya, kita juga tidak dijamin ntuk menjadi sedih saat kita kehilangan sesuatu. Bahkan, terkadang berlaku hal sebaliknya. Kita akan bahagia saat kehilangan sesuatu, dan justru bersedih saat mendapatkan sesuatu. Saya yakin kita semua pernah mengalami hal demikian. Kalau sudah begitu, rasanya sah jika poin ini kita sepakati bersama.

Ukuran bahagia setiap orang memang berbeda. Tetapi sumber bahagia kita semua adalah satu.

Ini yang saya ingin katakan, sumber kabahagiaan paling abadai adalah merasakan ketenangan batin. Hal yang begitu mendasar dan secara langsung tiadk ada hubungannya dengan kebutuhan materi. Jika saya diperkenankan untuk membawa isu keagamaan di sini, intinya adalah hubungan vertikal antara makhluk dan tuhannya. Sumber bahagia adalah hidup penuh syukur, senantiasa positif

Ibarat hidup, bersyukur adalah udaranya. Manusia tidak akan hidup tanpanya.

Yang memilih untuk bahagia adalah yang lebih sering bersyukur. Saya beberapa kali memposkan kalimat ini:

Ibarat hidup, bersyukur adalah udaranya. Manusia tidak akan hidup tanpanya.


Karena menurut saya, kalimat di atas sangat mewakili apa yang saya yakini, apa yang membuat saya bahagia selama ini, dan saya ingin membagikannya kepada semua orang. Bersyukur adalah kunci utama kebahagiaan. Memang banyak yang berargumen tentang sisi negatif menjadi pasrah dan sebagainya, tapi saya tidak melihat adanya korelasi antara pasrah dan senantiasa bersyukur. Mereka adalah dua hal berbeda. Bersyukur adalah menerima dengan lapang. Pasrah adalah menerima dengan kekecewaan.

Karena seberapa besar bahagiamu adalah seberapa besar rasa syukurmu .